Senin, 12 September 2011

Asuransi Syariah


ASURANSI SYARIAH

A.      Pengertian
Definisi asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan kepada nasabah/kliennya (muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, gaji, atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya.
Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan slah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi. Beberapa istilah asuransi yang digunakan antara lain: pertama, tertanggung yaitu orang atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta benda. Dan kedua penanggung, dalam hal ini perusahaan asuransi, merupakan pihak yang menerima premi asuransi dari tertanggung dan menanggung resiko atas kerugian yang menimpa harta benda yang diasuransikan. Asuransi masih menjadi perdebatan ulama bila dilihat dalam sudut pandang islam. Mengungat masalah asuransi ini sudah memasyarakat di Indonesia serta diperkirakan umat islam banyak terlibat d dalamnya, maka permasalahan tersebut perlu juga ditinjau dari sudut pandang hukum islam. Dikalangan umat islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak islami. Orang yang melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari ramat Allah. Allah-lah yang menentukan segala-galanya dan memberikan rezeki kepada makhlukNya sebagaimana firman Allah yang artinya: “dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberikan rezekinya” dalam Qs. An Naml 64 juga disebutkan “ dan siapa pula yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)” selain itu dalam surat Al Hijr ayat 20 “ dan kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan keperluan hidup, dan kami meniptakan pula makhluk-makhluk yang kamu sekalikali bukan pemberi rezeki kepadanya”. Dari ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan segala-galanya untuk keperluan semua makhluknya, termasuk manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini.

Menurut Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah bagian pertama menyebutkan pengertian Asuransi Syariah (ta’min, takaful’ atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk set dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk mengehadapi resiko tertentu melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan syariah.

Menurut Artikel dari Dr. Jafril Khalil, MCL tentang Asuransi Syariah Dalam Perspektif Ekonomi: Sebuah Tinjauan, Asuransi Syariah adalah serangkaian usaha pelayanan yang diberikan oleh perusahaan asuransi kepada para peserta asuransi berdasarkan ketentuan syariah.

B.      Landasan Asuransi Syariah
-          Surat Yusuf : 43-49, “Allah menggambarkan contoh usaha manusia membentuk sistem proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk dimasa depan.”
-          Surat Al- Baqarah : 188 Firman Allah, “ ... dan janganlah kalian memakan harta diantara kamu sekalian dengan jalan yang bathil, dan janganlah kalian bawa urusan harta itu kepada hakim yang dengan maksud kalian hendak memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu tahu.”
-          Al- Hasyr : 18 artinya, “Hai orang- orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang engkau kerjakan.”
-          Beberapa Pengaturan Mengenai Asuransi Syariah Di Indonesia
1.       Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa “Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prisnip syariah…”. Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 3-4 mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prisnip syariah. Pasal 32 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi konvensional. Dan Pasal 33 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perushaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
2.       Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
3.       Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep.4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Peusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah. Berdasarkan peraturan ini, jenis investasi bagi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah terdiri dari:
a.       Deposito dan sertifikat deposito syariah;
b.      Sertifikat Wadiah Bank Indonesia;
c.       Saham syariah yang tercatat di bursa efek;
d.      Obligasi syariah yang tercatat di bursa efek;
e.      Surat berharga syariah yang diterbitkan atau dijamin oleh pemerintah;
f.        Unit penyertaan reksadana syariah;
g.       Penyertaan langsung syariah;
h.      Bangunan atau tanah dengan bangunan untuk investasi;
i.         Pembiayaan kepemilikan tanah dan atau bagunan, kendaraan bermotor, dan  barang modal dengan skema murabahah (jual beli dengan pembayaran ditangguhkan);
j.        Pembiayaan modal kerja dengan skema mudharabah (bagi hasil);
k.       Pinjaman polis.

C.      Prinsip Asuransi Syariah
Menurut Artikel dari Dr. Jafril Khalil, MCL tentang Asuransi Syariah Dalam Perspektif Ekonomi: Sebuah Tinjauan, Prinsip Asuransi Syariah terdiri dari:
1.      Saling bertanggung jawab
Para peserta Asuransi setuju untuk saling bertanggung jawab. Memikul tanggung jawab dengan niat ikhlas adalah ibadah. Hal ini dapat diperhatikan dalam Hadist- Hadist berikut:
o   Maksud Hadis: “Kedudukan hubungan persaudaraan dan perasaan orang- orang beriman antara satu dengan lain seperti satu tubuh (jasad) apabila satu dari anggotanya tidak sehat, maka akan berpengaruh kepada seluruh tubuh.” (HR. Bukhari dan Muslim)
o   Maksud Hadis: “Seorang mukmin dengan mukmin yang lain (dalam suatu masyarakat) seperti sebuah bangunan dimana tiap- tiap bagian dalam bangunan itu mengukuhkan bagian- bagian yang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)
o   Maksud Hadis: “Setiap kamu adalah pemikul tanggung jawab dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap orang- orang yang dibawah tanggung jawabny.” (HR. Bukhari dan Muslim)
o   Maksud Hadis: “Seseorang tidak dianggap beriman sehingga ia mengasihi saudaranya sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari)
o   Maksud Hadis: “Barangsiapa yang tidak mempunyai perasaan belas kasihan, maka ia juga tidak mendapat belas kasihan dari Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasa tanggung jawab terhadap sesama muslim merupakan kewajiban sesama insan. Rasa tanggung jawab ini tentu lahir dari sifat saling menyayangi, mencintai, saling membantu, dan merasa mementingkan kebersamaan untuk mendapatkan kemakmuran bersama dalam mewujudkan masyarakat yang beriman, taqwa, dan harmonis.
2.      Saling bekerja sama atau saling membantu
Salah satu keutamaan umat Islam adalah saling bantu membantu dalam Kebajikan, karena bantu membantu itu merupakan gambaran dari sifat kerja sama sebagai aplikasi dari ketaqwaan kepada Allah SWT, diantara cerminan ketaqwaan itu ialah:
a.       Melaksanakan fungsi harta dengan betul, diantaranya untuk kebajikan sosial;
b.      Menepati janji;
c.       Sabar ketika mengalami bencana.
Diantara ayat- ayat yang mengadung maksud ini adalah:
o   Maksud Ayat: “Bekerjasamalah kamu pada perkara- perkara kebajikan dan taqwa dan jangan bekerjasama dalam perkara- perkara dosa dan permusuhan.” (al- Maidah: 2)
o   Hadis juga membicarakan perkara seperti ini, diantaranya adalah:
§  Maksud Hadis: “Sesiapa yang memenuhi hajat saudaranya, Allah akan memenuhi hajatnya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Daud)
§  Maksud Hadis: “Allah senantiasa menolong hamba selagi hamba itu menolong saudaranya.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
3.      Saling melindungi penderitaan satu sama lain
Para peserta asuransi Islam setuju untuk saling melindungi dari kesusahan bencana dan sebagainya, karena keselamatan dan keamanan merupakan keperluan asas untuk semua orang. Diantara ayat yang berbicara tentang ini adalah:
o   Maksud Ayat: “(Allah) yang telah menyediakan makanan untuk menghilangkan bahaya kelaparan dan menyelamatkan/ mengamankan mereka dari bahaya ketakutan.” (Quraisy: 4)
o   Maksud ayat: “Ketika Nabi Ibrahim berdoa Ya Tuhanku, jadikan negeri ini aman dan selamat.” (Al- Baqarah: 126)
o   Diantara sabda Rasul yang mengandung maksud perlunyasaling melindungi adalah:
§  Maksud Hadis: “Sesungguhnya seseorang yang beriman ialah seseiapa yang beoleh memberi keselamatan dan perlindungan terhadap harta dan jiwa raga manusia.” (HR. Ibnu Majah)
§  Maksud Hadis: “Rasululullah bersabda: ‘Demi diriku dalam kekuasaan Allah, bahwa siapapun tidak masuk surga kalau tidak memberi perlindungan jirannya yang terhimpit.” (HR. Ahmad)
§  Maksud Hadis: “Tidaklah sah iman seseorang itu kalau ia tidur nyenyak dengan perut kenyang sedangkan jirannya meratap kelaparan.” (HR. Al-Bazar)
4.      Menghindari unsur gharar, maisir, dan riba
Karnaen A. Perwataatmadja menambahkan juga Prinsip Menghindari unsur Gharar, Maisir, dan Riba. Untuk mengindari unsur gharar, maisir, dan riba, solusi yang dapat dilakukan antara lain:
1.       Gharar atau ketidakpastian ada dua bentuk yaitu:
a.       Bentuk akad syariah yang melandasi polis. Secara konvensional, kontrak atau perjanjian dalam asuransi jiwa dapat dikategorikan sebagai akad tabaduli atau akad pertukaran yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara harafiah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang dibayarkan dan berapa yang diterima. Keadaan ini menjadi rancu (gharar) karena kita tahu berapa yang akan diterima(sejumlah pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan (sejumlah seluruh premi) karena hanya Allah yang tahu kapan seorang akan meninggal. Dalam konsep syariah keadaan ini akan lain karena akad yang dipergunakan adalah akad takafuli atau tolong menolong dan saling menjamin di mana semua peserta asuransi menjadi penolong dan penjamin satu sama lainnya.
b.      Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syar’i penerima uang klain itu sendiri. Dalam konsep asuransi konvensional, peserta tidak mengetahui dari mana dana pertanggungan yang diberikan perusahaan asuransi berasal. Peserta hanya tahu jumlah pembayaran klaim yang akan diterimanya. Dalam konsep takaful, setiap pembayaran premi sejak awal akan dibagi dua, masuk ke rekening pemegang polis, dan satu lagi dimasukkan ke rekening khusus peserta yang harus diniatkan tabarru’ atau derma untuk membantu saudaranya yang lain. Dengan kata lain, dana klaim dalam konsep takaful diambil dari dana tabarru’ yang merupakan kumpulan dana shadaqah yang diberikan oleh para peserta.
2.        Maisir artinya ada salah satu pihak yang untung namun di pihak yang lain justru mengalami kerugian. Unsur ini dalam asuransi konvensional terlihat apabila selama masa perjanjian peserta tidak mengalami musibah atau kecelakaan, maka peserta tidak berhak mendapatkan apa-apa termasuk premi yang disetornya. Sedangkan, keuntungan diperoleh ketika peserta yang belum lama menjadi anggota (jumlah preminya masih sedikit) menerima dana pembayaran klaim yang jauh lebih besar.
Dalam konsep takaful, apabila peserta tidak mengalami kecelakaan atau musibah selama menjadi peserta, maka ia tetap berhak mendapatkan premi yang disetor kecuali dana yang dimasukkan ke dalam dana tabarru’.
3.       Unsur riba tercermin dalam cara perusahaan asuransi konvensional melakukan usaha dan investasi di mana meminjamkan dana premi yang terkumpul atas dasar bunga. Dalam konsep takaful dana premi yang terkumpul diinvestasikan dengan prinsip bagi hasil, terutama mudharabah dan musyarakah.

D.      Apakah Asuransi Syariah Mengenal Prinsip- Prinsip Dalam Asuransi Konvensional?

Principle of Insurable Interest
Prinsip ini dalam kancah hukum asuransi di Indonesia disebut dengan prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan, yang dalam bahasa arab disebut Mabda; al Maslahah at ta’miniyyah. Kerangka kerja dari prinsip ini adalah setiap pihak yang bermaksud mengadakan perjanjian asuransi, harus mempunyai kepentingan yang dapat diasuransikan. Maksudnya ialah bahwa pihak tertanggung mempunyai keterlibatan sedemikian rupa dengan akibat dari suatu peristiwa yang belum pasti terjadinya dan yang bersangkutan menjadi menderita kerugian.
Dalam islam segala transaksi bisnis harus didasarkan pada pertimbangan manfaat dan menghindari mudharat dalam hidup bermasyarakat. Dalam suatu kontrak, objek dari apa yang diakadkan. Pada tiap akad yang diadakan haruslah mengandung manfaat bagi kedua belah pihak. Dalam pengertian manfaat disini jelas dikaitkan dengan ketentuan benda yang nilainya dipandang dari pandangan hukum islam. Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan dalam perspektif asas manfaat ini berarti seseorang yang ingin mengambil asuransi harus memiliki nilai kemanfaatan atas barang yang dijadikan obyek asuransi. Ia juga harus memiliki keterlibatan sedemikian rupa sehingga bila barang itu musnah ia tidak lagi bias memiliki manfaat atas barang tersebut, misalnya rumah yang diasuransikan bila terbakar maka ia tidak lagi bias mengambil manfaat rumah sebagai tempat tinggal karena terbakar. Oleh karenannya ia dianggap memiliki kemanfaatan yang sepadan dengan kepentingan dalam berasuransi. Bila ia mengikuti asuransi tanpa memerhatikan manfaatnya berarti ia hanya sia-sia saja dan kesiaan (Mulghah) dilarang dalam islam.
Berkaitan dengan barang yang diasuransikan, islam telah memberi batasan bahwa islam mengharamkan akad yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat Mudharat seperti jual beli yang tidak bermanfaat apalagi membahayakan seperti halnya jual beli narkotika dan lain sebagainya. Kesimpulannya Principle of Insurable Interest ada dalam Asuransi Syariah karena pasti ada sesuatu yang dipertanggungkan.
Principle Of Utmost Good Faith
Prinsip itikad baik sempurna atau dalam islam disebut dengan Mabda’ husn an-niyah. Dalam prinsip ini dinyatakan bahwa tertanggung wajib menginformasikan kepada penanggung mengenai suatu fakta dan hal pokok yang diketahuinya, serta hal-hal yang berkaitan dengan risiko terhadap pertanggungan yang dilakukan. Keterangan yang tidak benar dan informasi yang tidak disampaikan dapat mengakibatkan batalnya perjanjian.
Sebagi peserta asuransi , maka seseorang harus mengutarakan semua hal yang menjadi pengetahuannya. Adanya kejujuran dalam bertransaski, termasuk dalam hal kontrak asuransi adalah sebagai hal yang fundamen. Kejujuran peserta dalam asuransi sangat dituntut oleh perusahaan asuransi. Hal ini dimaksudkan agar perusahaan merasa tidak tertipu atas keterangan peserta.
Hal terpenting dalam prinsip ini adalah kejujuran peserta atas objek yang dipertanggungkan. Dalam perjanjian islam, kejujuran dianggap sebagai hal pokok terwujudnya rasa saling rela. Kerelaan (an taradzin) merupakan hal yang paling esensi dalam perjanjian islam. Sebab dalam perdagangan islam dinyatakan bahwa perdagangan harus dilakukan dengan penuh kesepakatan dan kerelaan, sehingga jauh dari unsure memakan harta pihak lain secara bathil.
Para pihak yang terlibat dalam asuransi harus memiliki kesempatan yang sama untuk menyatakan keinginnanya. Dalam hukum islam suatu akad baru lahir setelah dilaksanakan ijab dan qobul. Ijab adalah pernyataan kehendak penawaran (offer), sedangkan qobul adalah pernyataan kehendak penerimaan (Acceptence). Dalam hal ini diperlukan kejelasan pernyataan kehendak dan harus adanya kesesuaian antara penawaran dan penerimaan. Dan harus ada sifat kerelaan atau suka sama suka. Kesimpulannya Principle of Utmost Good Faith pasti ada karena kejujuran pasti diperlukan karena apabila tidak dilandasi dengan itikad baik dari si Tertanggung maupun Penanggung akan menimbulan suatu Moral Hazzard (Kondisi yang bisa memperbesar timbulnya resiko disebabkan karena manusianya).
Principle of Indemnity
Kontrak asuransi adalah sebuah perjanjian antara pihak penanggung dan tertanggung. Sebagaimana dikatakan bahwa dalam suatu perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak. Oleh karenanya perikatan ini dapat dikatakan sebagai hubungan hukum menyangkut harta kekayaan antara dua pihak berdasarkan mana salah satu pihak dapat menuntut kepada pihak lain untuk memberikan, melakukan atau tidak melakukan.
Dalam prinsip ini dinyatakan bahwa pertanggungan bertujuan memberikan penggantian atas kerugian dan bahwa penggantian itu tida boleh melebihi kerugian riil tertanggung. Menurut M Anas Zarqa bahwa esensi dari kontrak asuransi adalah indemnitas, yaitu pembayaran kerugian yang dilakukan oleh perusahaan asuransi. asas indemnitas adalah suatu asas utama dalam perjanjian asuransi, karena indemnitas merupakan asas yang mendasari mekanisme kerja dan member arah tujuan dari perjanjian asuransi. Namun demikian, asas ini hanya khusus ada pada asuransi kerugian, bukan pada asuransi jiwa, perjanjian asuransi memiliki tujuan utama dan spesifik yaitu untuk memberikan suatu ganti kerugian kepada pihak tertanggung oleh pihak penanggung.
Pencantuman prinsip ini untuk menghindari pertaruhan dan perjudian. Sedangkan batas tertinggi kewajiban penanggung adalah mengembalikan tertanggung kepada posisi ekonomi yang sama dengan posisi sebelum terjadi kerugian, seandainya terjadi kerugian. Perjanjian asuransi yang memungkinkan tertanggung mendapat untung atas terjadinya peristiwa yang diasuransikan itu, berarti melanggar prinsip indemnitas dan dapat merugikan perusahaan asuransi. Kesimpulannya Principle of Indemnity dalam Asuransi Syariah adalah dalam bentuk santunan yang akan diberikan pada peserta asuransi yang mengalami kerugian.
Principle of Subrogation
Arti dari prinsip subrograsi adalah penanggung yang telah membayar kerugian terhadap suatu barang yang dipertanggungkan, berarti telah menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya. Akan tetapi, sebab pembayaran tersbut dilakukan atas sebab adanya pihak ketiga. Namun demikian, tertanggung tersebut bertanggungjawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung pada pihak ketiga itu.
Prinsip subrogasi ini melengkapi asas indemnitas. Prinsip subrogasi member hak pada penanggung yang telah membayarkan ganti rugi, yaitu segala hak tertanggung terhadap pihak ketiga. Hal itu dilakukan berkenaan dengan terjadinya kerugian itu. Jika rumah seseorang terbakar karena kelalaian tetangga yang membakar sampah dipekarangannya, maka pemilik rumah itu tidak bias menagih keduannya, yaitu perusahaan asuransi dan juga tetangganya. Perusahaan asuransi akan membayar kerugian tersebut tetapi kemudian memperoleh hak tertanggung untuk menagih tetangga tersebut hak subrogasi menempatkan beban pada yang bertanggungjawab memikulnya dan mencegah tertanggung mendapatkan keuntungan dengan menagih dua kali untuk kerugian yang sama.

E.       Akad (Perjanjian)
Setiap perjanjian transaksi bisnis di antara pihak-pihak yang melakukannya harus jelas secara hukum ataupun non-hukum untuk mempermudah jalannya kegiatan bisnis tersebut saat ini dan masa mendatang. Akad dalam praktek muamalah menjadi dasar yang menentukan sah atau tidaknya suatu kegiatan transaksi secara syariah. Hal tersebut menjadi sangat menentukan di dalam praktek asuransi syariah. Akad antara perusahaan dengan peserta harus jelas, menggunakan akad jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (takaful).
Akad pada asuransi konvensional didasarkan pada akad tadabuli atau perjanjian jual beli. Syarat sahnya suatu perjanjian jual beli didasarkan atas adanya penjual, pembeli, harga, dan barang yang diperjual-belikan. Sementara itu di dalam perjanjian yang diterapkan dalam asuransi konvensional hanya memenuhi persyaratan adanya penjual, pembeli dan barang yang diperjual-belikan. Sedangkan untuk harga tidak dapat dijelaskan secara kuantitas, berapa besar premi yang harus dibayarkan oleh peserta asuransi utnuk mendapatkan sejumlah uang pertanggungan. Karena hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal. Perusahaan akan membayarkan uang pertanggunggan sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah premi yang akan disetorkan oleh peserta tidak jelas tergantung usia. Jika peserta dipanjangkan usia maka perusahaan akan untung namun apabila peserta baru sekali membayar ditakdirkan meninggal maka perusahaan akan rugi. Dengan demikian menurut pandangan syariah terjadi cacat karena ketidakjelasan (gharar) dalam hal berapa besar yang akan dibayarkan oleh pemegang polis (pada produk saving) atau berapa besar yang akan diterima pemegang polis (pada produk non-saving).
Akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan penganiayaan. Harta seorang muslim yang lain tidak halal, kecuali dipindahkan haknya kepada yang disukainya. Keadilan dapat diketahui dengan akalnya, seperti pembeli wajib menyatakan harganya dan penjual menyerahkan barang jualannya kepada pembeli. Dilarang menipu, berkhianat, dan jika berhutang harus dilunasi. Jika kita mengadakan suatu perjanjian dalam suatu transaksi bisnis secara tidak tunai maka kita wajib melakukan hal-hal berikut:
o   Menuliskan bentuk perjanjian (seperti adanya SP dan polis).
o   Bentuk perjanjian harus jelas dimengerti oleh pihak-pihak yang bertransaksi (akad tadabuli atau akad takafuli).
o   Adanya saksi dari kedua belah pihak.
o   Para saksi harus cakap dan bersedia secara hukum jika suatu saat diminta kewajibannya.
Akad Pada Asuransi Syariah
Akad Tabarru’ (Hibah)
Adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
Akad Tijarah (Mudharabah)
Adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.

F.       Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
No.
Perbedaan
Asuransi Syariah
Asuransi Konvensional
1.
Akad
Takafuli (tolong menolong)
Tadabuli (Jual beli)
2.
Kepemilikan Dana
Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) merupakan milik peserta, perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya.
Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi (premi) menjadi milik perusahaan yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengolaan dana tesebut.
3.
Investasi Dana
Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (Mudharabah).
Investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
4.
Pembayaran Klaim
Pembayaran klaim diambilkan dari rekening tabarru’ (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong menolong.
Pembayaran klaim dari rekening milik perusahaan.
5.
Keuntungan
Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola dengan prinsip bagi hasil.
Keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan jika tidak ada klaim nasabah tidak akan memperoleh apa- apa.
6.
Dewan Pengawas
Adanya dewan pengawas syariah dalam asuransi syariah yang merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan Syariat Islam.
Tidak ada dewan pengawas.

G.     Jenis Asuransi Syariah
Menurut Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah dalam bagian kelima disebutkan bahwa Jenis Asuransi Syariah itu terdiri atas:
1.                   Asuransi Kerugian
2.                   Asuransi Jiwa

H.      Kesimpulan
Asuransi syariah adalah industri keuangan yang sah secara syariah, tanapa ada perdebatan tentang kehalalannya. Ia juga tidak menyalahi aturan yang ada berkaitan dengan industri asuransi.
Keunggulannya terletak pada segi karakteristik bisnisnya yang tidak merugikan nasabah, bisa menginvestasikan dananya pada sektor riil, dimana sektor ini dapat memberikan keuntungan yang lebih baik daripada penempatan pada sektor keuangan.
Dari segi fungsinya ia seperti usaha dari ujung ke ujung, karena ia bisa disinergikan dengan berbagai usaha lain dalam ekonomi. Ia bisa berperan mirpi dengan bank dan reksa dana sekaligus mempunyai perlindungan terhadap nasabah.
Masa depan pasarnya cukup besar, dan mungkin ia akan mempunyai cabang- cabang yang banyak dan besar. Uang nasabah yang akan dihimpun juga besar, tergantung kepada kepercayaan masyarakat dan kemampuan para pemasarnya dalam mencaro pangsa pasar. Karena itu ia mempunyai prospek masa depan yang cerah.
Walau bagaimanapun ia tetap memiliki tantangan yang besar, terutama dengan keyakinan umat islam sendiri terhadap bisnis yang diadasrkan atas syariah, sebab bisnis syariah tidak dapat diukur dengan undang- undang konvensional Indonesia. Undang- undang berkenaan dengan asuransi syariah belum ada sehingga diperlukan kekuatan moral umat Islam agar Undang- undang tersebut akan diwujudkan secara tersendiri. Dengan demikian ia akan memperoleh perlakuan sendiri. Waahua’lam.






Sumber:
1.       Ahmad Azhar Basyir.1996. “Takaful sebagai alternative Asuransi islam:, dalam jurnal Ulumul Quran, No. 2 Vol.VII
2.       Kuat Ismanto, 2009, Asuransi Syariah Tinjauan Asas-asasHukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
3.       Artikel dari Dr. Jafril Khalil, MCL tentang Asuransi Syariah Dalam Perspektif Ekonomi: Sebuah Tinjauan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar